Saturday, February 18, 2012

Lagi, Lagi, Lagi Filipi 4:10-20

Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Filipi 4:11

Karena kini putri saya sedang belajar berbicara, ia telah mengadopsi satu kata favorit: lagi. Ia akan mengatakan “lagi” sambil menunjuk pada roti bakar yang diolesi selai. Ia mengulurkan telapak tangannya dan mengatakan, “Lagi!” ketika suami saya memberinya sejumlah uang logam untuk mengisi celengannya. Ia bahkan menjerit, “Ayah, lagi!” di suatu pagi setelah ayahnya berangkat kerja.
Seperti putri kecil saya, kebanyakan dari kita melihat ke sekitar kita dan meminta “lagi” dan “lagi.”

Sayangnya, kita tidak pernah merasa cukup. Kita memerlukan kuasa Kristus untuk mematahkan siklus tersebut sehingga kita dapat berkata seperti Paulus, “Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan” (Flp. 4:11).
Frasa “aku telah belajar” menyatakan kepada saya bahwa Paulus tidaklah menghadapi setiap situasi yang ada dengan senyuman. Belajar mencukupkan diri itu membutuhkan latihan. Pengalaman Paulus terdiri dari pasang surut kehidupan, mulai dari digigit ular hingga menyelamatkan jiwa; dari ditimpa tuduhan palsu hingga membangun jemaat di berbagai kota. Meski demikian, ia menyatakan bahwa Yesus adalah jawaban yang membawa kepuasaan bagi jiwanya. Ia berkata, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (ay.13). Yesus telah memberinya ketangguhan rohani untuk bertahan di masa paceklik dan menghindari jerat dosa yang datang dari masa kelimpahan.

Jika Anda merasa bahwa Anda menginginkan “lagi, lagi, lagi,” ingatlah bahwa kepuasan sejati dialami ketika Anda menikmati Kristus “lagi dan lagi”. —JBS

Janganlah kecewa karena hal-hal duniawi;
Semua itu tak akan pernah memuaskan.
Rahasia kepuasan itu terletak pada
Mempercayai Tuhan akan menyediakan. —D. De Haan


Kepuasan yang sejati tak tergantung pada apa pun yang ada di dunia ini.

Saturday, February 11, 2012

Enam Tingkat Keterpisahan Yesaya 55:8-11

Demikianlah firman-Ku . . . tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia. —Yesaya 55:11

Sekitar 80 tahun yang lalu, seorang penulis asal Hongaria, Frigyes Karinthy, menulis sebuah cerita pendek yang diberi judul Chain-Links (Hubungan Berantai). Di dalamnya, ia mengemukakan suatu ide bahwa dua individu mana pun di dunia ini saling terhubung melalui sebanyak-banyaknya lima orang kenalan. Kini teori tersebut dimunculkan lagi dan biasanya disebut sebagai “Six Degrees of Separation” (Enam Tingkat Keterpisahan).

Tentu saja teori ini belum terbukti kebenarannya. Namun, memang ada suatu dinamika yang dapat menghubungkan kita dengan berbagai orang di seluruh penjuru dunia, yaitu hikmat dan pemeliharaan Allah yang bekerja melalui firman-Nya untuk menggenapi kehendak-Nya.
Beberapa tahun yang lalu, saya menerima sepucuk surat dari seorang pria yang tidak pernah saya jumpai sebelumnya. Ia menceritakan bahwa sebuah pesan yang saya kirim untuk seorang teman yang tinggal di dekat saya telah sampai kepadanya. Pesan tersebut telah menguatkannya di tengah kecemasan dan keputusasaan mendalam yang dialaminya.

Teman yang saya kirimi pesan itu ternyata mengirimkannya kepada seorang temannya, yang kemudian mengirimkannya lagi kepada temannya yang lain, demikian seterusnya, hingga pesan itu sampai kepada pria yang mengirimkan surat kepada saya.
Mungkin saja kata-kata sederhana yang kita sampaikan dengan penuh kasih, dituntun oleh hikmat Allah, dan diteruskan oleh Roh Kudus akan memiliki pengaruh yang abadi dalam hidup seseorang.

Bukankah kita patut memenuhi diri dengan firman Allah dan meneruskannya kepada orang lain dengan harapan Allah akan memakainya untuk mencapai maksud yang dikehendaki-Nya? (Yes. 55:11). —DHR

Lakukan suatu kebaikan yang sederhana,
Walau engkau mungkin tak melihat hasil akhirnya;
Hal itu akan berdampak, bak riak air yang melebar,
Jauh sampai pada kekekalan. —Norris

Saturday, February 4, 2012

Pemangsaan Matius 5:1-12

Berbahagialah orang yang murah hati, karena mereka akan beroleh kemurahan. —Matius 5:7

Berbahagialah orang yang murah hati, karena mereka akan beroleh kemurahan. —Matius 5:7 Orang yang mempelajari kehidupan ikan hiu memberitahu kita bahwa serangan hiu paling mungkin terjadi ketika hiu mencium bau darah di dalam air. Darah menjadi pemicu bagi mekanisme makan mereka dan mereka pun menyerang, biasanya dalam kelompok, menciptakan ajang pemangsaan. Darah di air menandakan rentannya si target.

Sayangnya, terkadang seperti itulah tanggapan orang-orang di gereja terhadap mereka yang terluka. Alih-alih menjadi suatu komunitas di mana orang-orang saling mengasihi, memperhatikan, dan membangun, gereja dapat menjadi suatu lingkungan yang berbahaya tempat para pemangsa mencaricari “darah di dalam air” dalam bentuk kegagalan atau kesalahan seseorang. Dari situ, ajang pemangsaan pun terjadi.

Alih-alih semakin menjatuhkan orang di saat mereka sudah terpuruk, kita seharusnya memberikan dorongan dari Kristus dengan cara menolong untuk memulihkan mereka yang gagal,. Tentu saja, kita tidak boleh membenarkan perbuatan berdosa, tetapi Tuhan memanggil kita untuk menunjukkan belas kasihan. Dia berkata, “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat. 5:7). Menerima belas kasihan berarti tidak mendapatkan apa yang sepantasnya kita terima, dan kita semua pantas menerima hukuman kekal. Allah yang sama, yang telah menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita di dalam Kristus, memanggil kita untuk menunjukkan belas kasihan kepada satu sama lain.

Jadi ketika kita melihat “darah di dalam air,” marilah kita menunjukkan belas kasihan. Suatu hari kelak, mungkin kita yang menghendaki orang lain berbelaskasihan kepada kita! —WEC

Tuhan, tolonglah kami untuk berbelas kasihan
Kepada mereka yang jatuh dalam dosa,
Mengingat bahwa Engkau telah menyelamatkan kami
Dan membersihkan hati kami. —Sper

Kita baru dapat berhenti berbelas kasih kepada sesama jika Kristus berhenti berbelas kasih kepada kita.



Kudus Kolose 1:1-2

Kepada saudara-saudara yang kudus dan yang percaya dalam Kristus di Kolose. —Kolose 1:2Orang kudus” mungkin bukanlah suatu istilah yang akan kita pakai untuk menyebut diri kita sendiri. Namun, dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus sering menyebut orang-orang percaya sebagai “saudara-saudara yang kudus” (Ef. 1:1, Kol. 1:2). Apakah mereka disebut orang kudus karena mereka itu sempurna? Tidak. Mereka adalah manusia biasa dan, oleh karena itu, berdosa. Lalu, apa maksud Paulus? Istilah orang kudus dalam Perjanjian Baru berarti bahwa seseorang secara khusus dipisahkan bagi Allah.

Istilah ini juga menggambarkan orang-orang yang memiliki kesatuan rohani dengan Kristus (Ef. 1:3-6). Istilah orang kudus sama artinya dengan seseorang yang secara pribadi percaya kepada Yesus (Rm. 8:27) dan mereka yang menjadi anggota gereja (Kis. 9:32).Orang-orang kudus mempunyai tanggung jawab melalui kuasa Roh Kudus untuk menjalani hidup sesuai dengan panggilan mereka. Meski tidak hanya terbatas pada hal-hal berikut ini, tetapi tanggung jawab mereka termasuk tidak lagi melakukan percabulan yang amoral dan tidak lagi mengucapkan perkataan yang tidak pantas (Ef. 5:3-4). Kita harus mengenakan sifat diri yang baru dengan saling melayani (Rm. 16:2), rendah hati, lemah lembut, sabar, memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera (Ef. 4:1-3), taat, serta tabah dalam penderitaan (Why. 13:10; 14:12). Dalam Perjanjian Lama, pemazmur menyebut orang-orang kudus sebagai ”orang-orang mulia yang selalu menjadi kesukaanku” (Mzm. 16:3).



Penyembahan Yang Salah Kisah Para Rasul 19:23-40

Jika Anda benar-benar ingin membuat orang-orang marah, hancurkanlah mata pencaharian mereka.
Kondisi perekonomian yang buruk dapat membuat para politisi jatuh dari kursi mereka, dan ancaman kehancuran ekonomi hampir membuat Rasul Paulus diusir dari Efesus.
Inilah yang terjadi. Paulus datang ke kota Efesus dan “berusaha meyakinkan mereka tentang Kerajaan Allah” (Kis. 19:8). Selama lebih dari 2 tahun ia memberitakan Injil, dan banyak orang mulai mengikut Yesus.

Karena Paulus begitu berhasil membuat orang-orang menyadari bahwa hanya ada satu Allah yang sejati, banyak warga Efesus berhenti menyembah dewi Diana. Ini adalah kabar buruk bagi para pengrajin perak setempat, yang mata pencahariannya adalah membuat dan menjual patung-patung dewi Diana. Jika ada banyak orang yang berhenti memuja dewi itu, bisnis mereka pun akan menjadi kering. Terjadilah suatu kerusuhan dan kekacauan ketika para pengrajin perak menyadari akibat tersebut.

Peristiwa di Efesus ini dapat mengingatkan kita untuk mengevaluasi alasan kita beribadah kepada Allah. Para pengrajin itu ingin mempertahankan kegiatan ibadah mereka sebagai suatu jalan untuk melindungi penghasilan mereka. Kiranya hal ini tidak pernah terjadi pada kita. Jangan pernah biarkan ibadah Anda kepada Allah menjadi jalan untuk memperoleh keuntungan.
Kita beribadah kepada Allah karena kasih-Nya kepada kita dan karena diri-Nya, bukan karena mengasihi-Nya dapat menolong kita untuk memperoleh kemakmuran. Marilah beribadah kepada Allah dengan cara yang benar. —JDB