Monday, July 16, 2012

Penolakan Dan Penyucian : Roma 5:12-21

Sama seperti dosa berkuasa dalam alam maut, demikian kasih karunia akan berkuasa oleh kebenaran untuk hidup yang kekal, oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. —Roma 5:21
Ada orang yang menolak pergi ke dokter karena mereka tidak ingin mengetahui adanya penyakit dalam tubuh mereka. Sejumlah orang menolak pergi ke gereja karena alasan yang sama. Namun penolakan kita untuk mengetahui penyakit yang ada tidak membuat kita sehat, dan penolakan untuk mengenali dosa kita tidak membuat kita suci.

Hukum Romawi dianggap sebagai sumber dari gagasan bahwa sikap tidak mau tahu pada hukum adalah suatu pelanggaran. Namun konsep ini telah ada jauh sebelumnya. Ketika Allah memberikan hukum Taurat kepada orang Israel, Dia menetapkan bahwa dosa yang tidak disengaja pun memerlukan korban untuk pengampunan (Im. 4, Yeh. 45:18-20).

Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus membahas masalah penolakan atau sikap tidak mau tahu ini. Ketika orang-orang menolak untuk mengenal kebenaran Allah, mereka berusaha mendirikan kebenaran mereka sendiri (Rm. 10:3). Ketika hidup menurut standar moral kita sendiri, kita mungkin merasa tidak bermasalah dengan diri kita, tetapi hal itu tidak membuat kita sehat secara rohani. Hanya ketika kita diukur menurut standar kebenaran Allah di dalam Yesus, barulah kita mengetahui kondisi kesehatan rohani kita.

Siapa pun dari kita tidak akan dapat mencapai standar kebenaran Kristus, tetapi syukurlah kita memang tidak harus berusaha mencapainya. Dia mengaruniakan kebenaran-Nya kepada kita (5:21). Kabar baiknya adalah, ketika kita mengetahui penyakit rohani kita, Sang Tabib Agung dapat menyembuhkan kita. —JAL

Tabib Agung, Engkau mengenal hatiku. Aku bersujud di

hadapan-Mu sekarang dan memohon agar Engkau menunjukkan
kepadaku sikap atau perbuatanku yang tidak menyenangkan-Mu.
Sucikan diriku dan sembuhkanlah aku.

Allah adalah Sang Pengukur dan Tabib bagi kesehatan rohani kita.
 
 

Kesaksian Terbaik Kita Yohanes 9:13-25
Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat. —Yohanes 9:25
Dalam perjalanan selama 8 jam dengan kereta api, saya duduk di sebelah seorang duta besar Amerika Serikat yang telah pensiun. Kami pun segera terlibat dalam perdebatan setelah ia menghela napas sewaktu saya mengeluarkan Alkitab.

Saya langsung menanggapinya. Awalnya, kami saling bertukar kalimat singkat untuk mempertahankan pendapat kami. Namun, lambat laun, percakapan kami diwarnai dengan kisah hidup kami masing-masing. Rasa ingin tahu begitu menguasai kami berdua sehingga kami justru saling mengajukan pertanyaan dan bukan lagi berdebat. Sebagai lulusan jurusan ilmu politik dan pemerhati soal politik, saya pun tertarik mendengar tentang karirnya, dimana ia pernah dua kali menjabat sebagai duta besar yang berperan penting.

Anehnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya adalah tentang iman saya. Bagaimana saya menjadi “seorang percaya” adalah hal yang paling menarik baginya. Perjalanan kami pun berakhir dalam suasana bersahabat, bahkan kami pun saling bertukar kartu nama. Setelah turun dari kereta api, ia berpaling kepada saya dan berkata, “Menurutku, bagian terbaik dari argumen Anda bukanlah apa yang Anda pikir dapat dilakukan Yesus bagi saya, melainkan apa yang telah dilakukan-Nya bagi Anda.”

Dalam Yohanes 9, sama seperti di atas kereta api itu, Allah mengingatkan bahwa kesaksian kita yang terbaik adalah pengalaman yang kita alami sendiri, yakni perjumpaan pribadi kita dengan Yesus Kristus. Berlatihlah menyaksikan kisah iman Anda kepada sahabat dekat dan orang-orang yang Anda kasihi, agar kemudian Anda dapat menceritakannya dengan jelas kepada orang lain. —RKK


No comments:

Post a Comment